MENU

Rekam Jejak Tokoh MALNU Dalam Memperjuangkan Dan Mempertahankan NKRI

Rekam Jejak Tokoh MALNU Dalam Memperjuangkan Dan Mempertahankan NKRI

Sebagai lembaga pendidikan, peran utama pesantren tentu saja menyelenggarakan pendidikan keislaman untuk para santri. Namun dari masa ke masa pesantren tidak hanya berperan dalam soal pendidikan, tetapi juga peran-peran sosial bagi masyarakat di sekitarnya.

          Salah satu peran penting pesantren dalam sejarah perjalanan bangsa ini adalah keterlibatannya dalam perjuangan melawan penjajah. Ketika Jepang memobilisir tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, Para Kyai dan Santri membentuk Tentara Hizbullah dengan Bambu Runcing yang terkenal sebagai senjata para Pejuang Kemerdekaan. Ulama MALNU sekaligus pendiri lembaga tersebut; KH. TB. Arsyad bin KH. TB. Rasyidi yang kemudian punya putra KH. TB. Rusydi, memiliki sikap tegas, tidak kooperatif, apalagi akomodatif dalam menghadapi kekufuran, Asyidda’u ‘Alal Kuffar (اشدا علی الکفار). Sifat ini kemudian diwarisi putranya; KH. TB. Rusydi. KH. TB. Arsyad pernah dipaksa pindah dari kampung Tegal ke kampung Kadu Roke (Pasar Menes). Pasalnya sepele, hanya gara-gara “BEWAT” surat hewan ketika Idul Adha ia diberi beberapa ekor kerbau.    Rupanya pemberian itu hanya siasat Belanda yang ingin menyuapnya dan sekedar alasan fitnah untuk mengusirnya. Maka KH. TB. Arsyad mentah-mentah menolaknya dan lebih memilih meninggalkan kampung Tegal yang dicintainya menuju kampung Kadu Roke tanpa menerima pemberian tersebut.

Namun rencana Belanda yang ingin mematahkan daya juang KH. Arsyad dengan mengusirnya dari kampung Tegal, justru menjadi Bumerang. Karena di tempat yang baru itu (Kadu Roke), Beliau diterima dengan baik oleh Wedananya (Juragan Demang) Bahkan Demang itu mewakafkan sebidang tanah kepada Putra KH. Arsyad (KH. TB. Rusydi).

          Ketika Agresi Belanda II Tahun 1948, KH. TB. Rusydi sudah dikenal Belanda sebagai Ulama yang Kharismatik di Banten. Beliau ditawari Belanda untuk berkolaborasi sebagai antek Belanda. Maka dengan tegas KH. TB. Rusydi menolaknya. Baginya lebih baik mati daripada bekerjasama dengan orang kafir (عش كريما او مت شهيدا). Bahkan KH. TB. Rusydi memimpin jihad untuk mengusir Belanda, di Banten khususnya. Di Menes, yang dikenal sebagai gudangnya Ulama, Beliau membentuk pasukan tempur dengan 3 (tiga) lapis nama ; 1. Pasukan Hizbullah, 2. Pasukan Sabilillah, 3. Pasukan Ghazin. KH. TB. Rusydi menjadi komandan Pasukan Ghazin bersama ulama lain seperti KH. Habri bin KH. Mas Abdurrahman Bin Jamal.

          Nama KH. TB. Rusydi sudah dikenal pihak Belanda seringkali mendapat ancaman untuk dibunuh keluarganya. Maka KH. TB. Rusydi sekeluarga akhirnya pindah (hijrah) ke daerah yang lebih aman yaitu ke Kampung Cileutik. Sementara itu para santri diperintahkan untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Dari kampung Cileutik, 2 (dua) hari kemudian pindah lagi ke Kampung Kadu Kalasi karena yang dicari tentara Belanda KH. TB. Rusydi sudah tidak berada di Kampung Kadu Roke dan Pesantren Kyai Tegal Menes sudah kosong.  Akhirnya pada tanggal 26 Desember 1948 Pondok Pesantren Kyai Tegal yang terkenal itu dibakar Belanda.

          Tentara Ghazin yang dipimpin KH. TB. Rusydi kemudian bergabung dengan tentara Hizbullah pimpinan KH. Sandawa yang bermarkas di kampung Pulosari, perbatasan antara ujung Kecamatan Saketi (sekarang Kecamatan Cisata) dan Mandalawangi. Mereka merencanakan untuk menyerang markas Belanda Di Menes.

          Serangan tentara Hizbullah dan Ghazin yang dilalukan secara mendadak itu berhasil membacok mati seorang kapten Belanda di pagi hari dan beberapa tentara Belanda lainnya. Setelah diketahui oleh tentara Belanda, dua kelompok Hizbullah dan Ghazin melarikan diri dari markasnya pindah ke daerah/Kampung Ciherang, Saketi tempat para Ulama Banten berkumpul. Seperti; KH. Raden sugiri, Kh. Ahmad Asrori. KH. Abdul Mu’ti, dan lain-lain.

Tentu saja pihak tentara Belanda tidak tinggal diam. Mereka dengan persenjataan lengkap mengadakan operasi ke seluruh Menes hingga Saketi memburu KH. TB. Rusydi dan KH. Sandawa pemimpin Hizbullah dan Ghazin. Pagi buta menjelang sholat subuh, tentara Belanda, tanpa diketahui para penduduk desa Ciherang telah memblokir desa itu.

          Salah seorang tentara Belanda dengan senapan dikokang, memasukkan moncong senjatanya lewat lubang angin mihrab tempat imam sholat Subuh. Rupanya tentara Belanda hanya memiliki satu target, yaitu membunuh KH. TB. Rusydi dan benar saja selaku Imam Sholat Subuh saat KH. TB. Rusydi mengangkat kedua tangan untuk berqunut pada raka’at kedua shalat subuh tepat puluhan peluru memberondong isi kepalanya hingga hancur. Jasadnya tergolek lunglai roboh berbarengan dengan takbir untuk sujud. Jasad KH. TB. Rusydi terkulai tak mampu bangun lagi. Sementara makmum shalat subuh digiring ke markas Belanda tanpa menyelesaikan shalat subuh dua rakaat untuk masuk bui (penjara).

          Serangan fajar tentara Belanda di pagi buta itu begitu cepat. Pagi harinya masyarakat tetangga desa dengan membawa senjata seadanya mendatangi masjid Ciherang. Namun yang tampak hanya jasad KH. TB. Rusydi dengan kondisi batok kepalanya memelaskan hati para muridnya. Inna lillahi wa inna ilai raji’un. KH. TB. Rusydi telah gugur sebagi syuhada. Masyarakat desa tetangga itu berebut mengangkat jasad dan langsung memberikan penghormatan terakhir dengan sholat jenazah setelah jenazahnya dikenakan kain kafan.

          Seorang pemimpin balai kesehatan Suparman meminta kepada para jama’ah agar tidak menguburkan jenazah KH. TB. Rusydi di Ciherang karena nanti pihak Belanda akan mengambil mayat KH. TB. Rusydi sebagai bukti bahwa mereka benar-benar telah membunuhnya dan menyerahkan mayat itu kepada atasan mereka. Kemudian Keluarga besar KH. TB. Rusydi dan para Kyai bermusyawarah dan berunding. Keputusannya adalah KH. TB. Rusydi dimakamkan di kampung Moncor, Saketi, di Kampung tempat kediaman KH. Sandawa + 15 KM dari tempat kejadian.

Ketika ayahnya tertembak oleh Belanda dan gugur sebagai syuhada bangsa, putranya; Ma’ani, baru berusia + 18 tahun. Ironisnya dia tidak tahu persis peristiwa tersebut karena Ia sedang bergeriliya di hutan. Dia tidak mengetahui juga bahwa Belanda tidak hanya membunuh Ayahnya, tapi juga membakar habis rumah dan pesantrennya di Menes. Ruh jihad dan sikap tegas terhadap kekufuran KH. TB. Rusydi menitis kepada putra sulungnya itu. Ditandai dengan sekalipun masih remaja, Ma’ani sudah ikut bergeriliya bergabung dengan tentara Ghazin pimpinan KH. ‘Asyik bin KH. Sulaiman.

          Ma’ani muda beberapa kali terlibat dalam pertempuran dengan tentara Belanda. Cara bergeriliyanya adalah dengan mencegat pasukan Belanda ditengah jalan. Jumlah pasukan Belanda terkadang cukup banyak sekitar 5 hingga 7 Pleton. Taktik perang geriliyanya adalah HIT and RUN; sembunyi, menyerang dan lari. Sehingga Ma’ani dan pasukannya suka berpindah-pindah. Saat itu Ma’ani bertugas untuk mempertahankan daerah Mengger dan Gunung Karang.

Tahun 1948 ketika agresi kedua, Belanda ingin kembali menguasai daerah Banten. Pasukan Belanda ketika itu memang telah merebut kembali daerah Saketi, Bojong, Gunung Karang, Mengger.  Gabungan tentara sipil seperti Ghazin, Sabilillah dan Hizbullah bersatu untuk menyerbu markas Belanda di saketi. Penyerbuan tersebut dipimpin oleh Kolonenl Nafsirin Hadi Sajong dan Ghozali.  Terjadi pertempuran sengit di Markas Belanda di Saketi. Pada serangan pertama yang mendadak, pasukan gabungan ini mengalami kemenangan yang berarti. Sempat juga merampas senjata otomatis Belanda. Tiba-tiba datang bantuan pasukan Belanda dari Leuwiliang dan Bogor. Sehingga membuat mundur pasukan gabungan.

          Subuh dinihari diantara kabut asap pasukan Ghazin yang berada ditempat itu melihat ada bayang-bayang satu keluarga seperti sedang kebingungan berjalan membelah kabut melerai pohon-pohon kecil. Subhanallah, Ma’ani hampir tidak percaya dengan penglihatannya kala itu. Ternyata itu adalah keluarga dan ibunya tercinta. Ma’ani bersimpuh sujud, lunglai di kaki ibunya Hj. Rogayah Bin Kh. Asy’ari dan Hj. Wasi’ah putri KH. Sarim/ KH. Kiman wakil panglima KH. Wasid. Pemimpin Geger Cilegon, Adik-adiknya yang masih kecil Merangkulnya. Dengan tumpahan tangisan ibunya (Hj. Rogayah) berkata: “Saatnya Kamu sekarang berjuang lebih intensif melawan penjajah karena ayahmu telah mati syahid. Rumah dan Pondok pesantren pun habis dibakar Belanda.

          Demikianlah sekilas rekam jejak tokoh MALNU dalam memperjuangkan dan mempertahankan NKRI untuk menjadi gambaran yang patut diteladani generasi muda agar tetap mempertahankan keutuhan NKRI.

 

* Ketua Umum PB MALNU disampaikan kepada Yang terhormat Menteri Pertahanan RI.

 

KOMENTAR